Oleh Natania Prima Nastiti
Selalu
 teringat dibenakku kejadian dua minggu yang lalu. Teringat akan 
senyuman tulus gadis itu juga kedua mata indahnya yang kugambarkan mirip
 dengan bulan terang di malam hari. Saat nyaris saja sebuah mobil 
menabrak gadis itu, dengan sigapnya aku menolong gadis yang tidak 
kuketahui namanya itu bak seorang pahlawan. Kejadian itu benar-benar 
membuatku gelisah sekarang. Ditambah pancaran sinar dari wajah cantik 
gadis itu yang membuatku tambah tak karuan. Bahkan hingga saat ini, aku 
masih saja terus gelisah memikirkan gadis cantik itu. Hingga saat ini, 
saat sesuatu yang tidak terduga datang lagi kepadaku.
“So,
 kamu seneng photograph juga, Sar?” tanyaku setelah kami berkenalan dan 
aku tau nama gadis itu adalah Sarah. “Iya. Dari SMA aku udah suka 
photograph. Seneng aja gitu bisa ngabadiin hal-hal menarik yang kadang 
nggak kita sadarin” jawabnya sambil tersenyum lembut ditambah sebuah 
lesung pipi di pipi kanannya. Aku mengangguk. “Emm, kapan-kapan boleh 
kali hunting bareng. Hehe” ucapku basa-basi. “Oh, boleh-boleh! 
Secepatnya deh direncanain tempatnya, soalnya baru-baru ini aku juga ada
 rencana mau hunting gitu deh” jawabnya bersemangat. “Oke deh, pasti 
diusahain cepet cari tempat huntingnya, Sar” sahutku sambil mengedipkan 
satu mata kearahnya. Sarah tertawa kemudian dia memotret seorang ibu 
yang sedang menggandeng kedua anak kembarnya. “Mau es krim?” tanyaku 
lagi. Sarah mengangguk. 
Semakin
 lama, semakin dekat aku dengan Sarah. Takdir memang tidak kemana, 
pertemuanku dengan Sarah benar-benar takdir yang indah. Apalagi setelah 
kita berdua hunting bersama di sebuah wisata air terjun di Jawa Tengah, 
kita berdua menjadi semakin akrab lagi. Kita berdua sudah saling berbuka
 cerita satu sama lain. Berbagi inspirasi, cerita, pengalaman, trik-trik
 memotret yang baik dan lainnya. Sampai kuketahui ternyata kedua 
orangtua Sarah telah lama meninggal dan sekarang dia tinggal bersama 
tantenya dengan hidup yang sederhana. Kenang-kenangan dari kedua 
orangtuanya hanya sebuah kamera yang sekarang selalu berada disisinya 
juga keinginan orangtuanya yang selalu ada dipikiran Sarah. Mereka ingin
 sekali Sarah menjadi photografer handal, terkenal dan bisa melanjutkan 
studi di Paris. “Mereka mau 
banget aku bisa ke Paris, menjadi seorang mahasiswi dan seorang 
photografer yang handal, Zan. Jika suatu saat aku bisa memamerkan hasil 
foto-fotoku di Paris, mereka pasti akan bangga banget punya anak kayak 
aku. Makanya itu, sampe sakarang, aku terus berlatih jadi photografer 
yang handal supaya bisa dapet beasiswa ke Paris dari kampusku. I ever 
fail, but I always try it again and again”, jelas Sarah saat 
berbicara tentang keinginan orangtuanya. Dari situ aku mengerti, bahwa 
Sarah adalah seorang perempuan yang pantang menyerah demi keinginan 
orang yang disayanginya.
 
Lima
 bulan telah berlalu dengan begitu cepat. Kedekatanku dengan Sarah 
semakin menjadi. Kehandalan Sarah dalam memotret suatu objek juga 
semakin mantap. Aku optimis, jika dia bisa mendapatkan beasiswa itu. 
Dengan berjalannya waktu dan kedekatan ini, timbul perasaan sayangku 
padanya yang lebih mendalam dari sebelum-sebelumnya. Aku semakin ingin 
menjaga Sarah sepenuh hatiku. Aku ingin sekali melindunginya dari 
apapun. Aku ingin selalu ada disampingnya selalu. Menemani harinya. 
Tapi, aku masih belum berani mengungkapkan perasaan sayang ini padanya. 
Mungkin aku memang cowok pengecut yang takut ditolak cintanya dengan 
Sarah jika aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Tapi, aku 
memang benar-benar takut. Sampai saat ini Sarah tidak pernah 
memperhatikanku sampai sedetail mungkin. Dia hanya memerhatikanku 
sebagai temannya, menurutku. Sampai malam itu, saat aku mengajaknya ke 
Puncak, malam yang sangat istimewa bagiku.
 “Dezan,
 kamu nggak mau ngomong sesuatu sama aku?” tanya Sarah tiba-tiba. 
seketika aku bingung menatap Sarah. Tapi Sarah membalas tatapan bingung 
itu dengan senyuman dan sebuah lesung pipi khasnya. “Emm, berbulan-bulan
 kita dekat, apa kamu nggak ngerasa sesuatu yang berubah dari hati 
kamu?” tanya Sarah lagi sambil memandang licik kearahku. Aku hanya 
menaikkan satu alisku keatas, bingung. “Oke, bukannya aku kepedean sih, 
but I think.. you like me”, ucapan singkat yang keluar dari mulut Sarah 
itu telah membuat sekujur tubuhku gemetaran. Aku rasa darahku berhenti 
mengalir. Kemudian aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya secara 
perlahan hingga tiga kali, baru kemudian kujawab ucapan Sarah tadi. “No 
I’m not. I don’t like you, but I love you, Sarah” jawabku kemudian. 
Sarah terlihat kaget sejenak, dan kemudian dia tersenyum indah sekali 
padaku. “Dari pertama insiden itu terjadi, aku udah tertarik sama kamu. 
Tadinya aku berpikir mustahil akan bertemu kamu lagi tapi ternyata 
takdir berkata lain. Kita berdua dipertemukan kembali di sebuah tempat 
indah dan saat suasana romantis tercipta. Sampai akhirnya kita semakin 
dekat dan semakin lama perasaan sayang itu terbentuk di hatiku untuk 
kamu, Sarah” ucapku. Tiba-tiba Sarah memelukku dengan erat, aku merasa 
bahuku basah. Sarah menangis. “I love you too, Dezan” ucapnya 
disela-sela isak tangisnya. Senyumku berkembang sambil membalas pelukan 
Sarah. 
Malam
 itu dirumah Sarah sangat ramai. Bertahun-tahun Sarah menginginkan dan 
akhirnya hari itu juga dia telah mendapatkannya. Malam itu juga genap 
hubungan kami yang setahun. “Thanks for Jesus, Father from all of 
children, yang telah memberikan kasih sayangnya padaku,  thanks
 for my friends, my belove’s aunt and thanks for my beloved, yang telah 
hadir disini. Aku mendapatkan beasiswa ini nggak luput dari peranan dan 
support dari kalian semua. Bertahun-tahun aku mengejarnya, ternyata 
pengejaran itu berakhir disini. Ditahun ke-6 kedua orangtuaku meninggal.
 Setelah nanti aku berada di paris, aku nggak akan pernah mengecewakan 
kalian semua terutama Tante Mira dan keluarga yang telah ngerawat aku 
setelah kepergian kedua orangtuaku. Aku benar-benar berterima kasih atas
 apa yang telah kalian lakukan padaku” ucap Sarah panjang lebar dihari 
kebahagiaannya malam itu. Pelukan dan ciuman hangat serta tangis haru 
beradu menjadi satu dimalam bahagia itu. Aku yakin, kedua orangtua Sarah
 juga pasti merasakan kebahagiaan di Surga sana.
 
Setelah
 lama berbincang, kemudian Sarah pamit permisi sambil mengajakku keluar 
rumah. sarah memelukku kemudian mencium pipiku. Dikeluarkannya tiket 
pesawat keberangkatan menuju Paris besok dari dalam saku bajunya. “See 
it, Honey” ucapnya sambil tersenyum padaku. “Happy anniversary one year,
 Dezan” ucapnya lagi sambil meneteskan air mata. “Kenapa?” tanyaku 
sambil menghapus air matanya. “Walau nanti kita nggak ketemu, kita 
berbeda tempat, berbeda pijakan bumi dan hamparan langit, kita akan 
tetap saling mencintai kan? Kamu nggak akan ninggalin aku kan? Hati kita
 akan terus bersatu kan?” tanya Sarah semakin terisak. Aku tersenyum, 
“aku cinta sama kamu selama-lamanya, Sarah. Aku akan terus dan akan 
tetap mencintaimu sampai nanti kita akan kembali pada Tuhan. Only dead 
is over our”. “I wish, We can meet again and stay at the romantic place 
in this world, French. Paris. And at the heaven if we die” ucap Sarah 
sambil terus menangis. “Kita pasti akan bertemu di kota romastis sedunia
 ini, Paris dan di Surga jika kita mati nanti” sahutku mengikuti ucapan 
Sarah. Aku memeluk Sarah dan menciumi keningnya. Walau berat melepasnya,
 tapi aku rela demi kebahagiaannya... mungkin. 
Acara
 di rumah Sarah selesai sekitar pukul 01.00. semua teman-temannya sudah 
pulang dan aku pun pamit pulang pada Sarah dan keluarga Tantenya. Saat 
setengah perjalanan, tiba-tiba handphoneku bergetar. Kupinggirkan mobil 
di bahu jalan yang lumayan sepi itu. “Iya, Tante, ada ap..?” ucapanku 
terputus. Bulu kudukku berdiri, aku merasa jantungku akan berhenti saat 
itu juga. Apa ini? apa yang baru kudengar ini?! handphoneku terjatuh. 
Aku memandang kosong kearah jalanan yang sepi. Semua badanku kaku dan 
gemetaran. Ini pasti mimpi! Just dream! Just shit dream!!. Suara Tante 
Mira masih bisa kudengar saking sepinya jalanan itu. “Hallooo?! Dezan? Dezann?! Kamu dengar kan? Sarah kecelakaan! Kamu harus cepat ke rumah sakit!”.
 
“We can meet again and stay at the romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven if we die”.
 Teringat ucapan Sarah yang masih terdengar jelas ditelingaku. Ternyata 
pelabuhan terakhir memanglah Surga bukan kota romantis sedunia seperti 
Paris. Kelu lidah ini melihat gadis bergaun putih, bersarung tangan 
putih dengan tataan rambut yang indah dan wajah yang cantik tertidur 
pulas disebuah peti yang berbalut kain putih dengan banyak bunga di 
dalamnya. Kota Paris, hanyalah sebuah kota megah yang hanya dapat dia 
impikan tanpa bisa diraihnya. “Setelah
 kamu pergi, Sarah berlari mengejar mobilmu dan meneriaki namamu, Dezan.
 Hingga tanpa aba-aba, terdengar decitan rem yang sangat nyaring dari 
sebuah mobil sedan. Dan tanpa bisa dihentikan lagi, badan logam mobil 
itu telah beradu dengan tulang yang berbalut daging milik Sarah hingga 
dia terpental jauh. Tante nggak kuat, Zan, kenapa Tante harus 
menyaksikan sendiri peristiwa itu? Menyaksikan sendiri keponakan yang 
sangat tante banggakan akhirnya harus merelakan semua impiannya sia-sia”, ucapan Tante Mira tadi membuat tangisku semakin menjadi. Semua teman menyemangatiku. “Yang kami temukan, sebuah tiket menuju Paris dan sebuah foto ini”,
 ucapan Inspektur polisi malam itu, membuat aku mengeluarkan foto yang 
terkena bercak darah dari dalam kantong plastik. Foto mesra kami berdua.
 Foto cantik Sarah dengan senyumannya yang selalu tulus dan kedua 
matanya yang indah. Sama persis ketika aku pertama kali melihatnya dulu.
 Tapi sekarang senyuman itu akan pudar selamanya dan kedua mata itu akan
 tertutup tidak akan pernah terbuka lagi. Maaf jika kali ini aku tidak 
bisa menolongmu, Sarah. Ku relakan engkau Sarah, walau berat bagiku 
melepasmu kembali ke Sisi Tuhan...  

